Akad Mudharabah dan Murabahah di Bank Syariah - Hutang di Bank Syariah Tetap Riba ?
Assalamu’alaikum wr,wb. Banyak pertanyaan diberbagai forum, apakah hutang di bank syariah itu masih tetap riba? Bank dengan label syariah, memang seharusnya jual dari riba, namun faktanya tidak lah demikian. Berhutang hukumnya halal dalam islam, dan bukan masalah kepada siapa kita berhutang, tetapi yang perlu kita cermati adalah akadnya. Misal kita hutang kepada paman kita sendiri, tetap disitu ada klausul jika terlambat akan ada denda, maka hutang tersebut adalah riba.
Di dalam bank syariah ada berbagai macam akad, ada 2 macam akad paling banyak yang dilakukan di bank syariah yaitu mudharabah dan murabahah. Bank syariah sebenarnya tidak dibenarkan untuk mengambil keuntungan dari hutang, dia hanya boleh berbisnis, karena itu yang dipakai adalah akad mudharabah dan murabahah. Misal ketika kita ingin mengajukan tambahan modal, maka skema akadnya adalah mudharabah.
Yaitu bank memberi modal dan kita nanti akan mengembalikan + bagi hasil, sekilas akad ini sudah benar. Namun kita perlu menanyakan besaran bagi hasil itu dari presentasi keuntungan profit yang kita dapat dari usaha kita atau bagi hasil tersebut berasal dari presentasi modal yang diberikan ? Jika dari presentasi profit usaha kita maka itu sudah benar, namun jika bagi hasil yang harus kita bayar berasal dari persenan modal maka itu jelas adalah riba.
Baca Juga : Begini cara islam mengatur jual beli Online
Pertanyaanya, apakah bank siap menerima bagi hasil yang variatif setiap bulannya ? Misal ketika usaha lagi ramai, maka bagi hasil besar dan ketika usaha lagi sepi maka bagi hasil juga sedikit, bahkan bisa tidak ada bagi hasil jika memang tidak ada laba. Didalam akad mudharabah terdapat ketentuan bahwa jika terjadi kerugian atau bangkrut yang bukan karena kelalaian pengelola, maka pengelola tidak harus mengganti uangnya.
Nah, apakah
jika kita berakad dengan bank, bank siap untuk ikut dalam menanggung kerugian ?
Jika pengelola diwajibkan tetap membayar maka sesungguhnya ini adalah akad hutang biasa,
bukan mudharabah, sehingga haram ada pembagian hasil. Hal ini juga
dijelakan oleh Ibnu Qudamah Al-Maqdisi : “Bila disyaratkan bahwa mudharib
(pengelola) menjamin dana dari kerugian, maka persyaratannya batal, tidak ada perbedaan pendapat ulama dalam hal
ini.” (Al-Mughni hal:176)
Ketika kita membutuhkan dana membeli suatu barang, maka biasanya bank syariah akan mengarahkan kita ke akad murabahah. Murabahah adalah akad jual beli antara kita dengan bank, jika akad ini benar dijalankan maka bank akan membeli terlebih dahulu barang yang kita butuhkan tersebut, memindahkan barangnya atau surat kepemilikannya ke bank. Lalu menjual kepada kita dengan pembayaran kredit dan dinaikan harganya sesuai kesepakatan.
Bank tidak boleh melakukan akad jual beli dengan kita, jika barang yang hendak kita beli belum menjadi miliknya. Misalnya kita mau beli rumah, maka bank harus membeli rumah tersebut terlebih dahulu, baru menjual kepada kita. Nah disini bisa kita lihat, apakah bank syariah menjalankan hal tersebut? atau justru hanya meminjamkan uang, jika hanya meminjamkan uang saja, lalu pengembalianya berlebih maka itu adalah riba. Mengapa bank harus memiliki barang tersebut sebelum menjual kepada kita ?
Karena Rasulullah SAW
melarang jual beli barang yang belum
dimiliki, dan ini berpotensi menjadi riba yang terselubung. Rasulullah SAW
bersabda : “Tidak halal menggabungkan antara
akad pinjam dan jual beli, tidak halal dua persyaratan dalam satu jual
beli, tidak halal keuntungan barang yang
tidak dalam jaminanmu dan tidak halal menjual barang yang bukan milikmu”. (HR.
Abu Daud. Menurut Al- Albani, derajat
hadist ini Hasan Shahih).
Dan
mengapa baranya atau surat kepemilikanya
harus sudah diterima bank terlebih dahulu baru boleh menjual kepada kita ?
Karena Rasulullah SAW melarang menjual
barang yang belum kita terima. Diriwayatkan dari Hakim bin Hazam, beliau
mengatakan, “Wahai Rasululah, saya sering
jual-beli, apa jual-beli yang halal dan haram ? Nabi SAW bersabda : “Wahai anak saudaraku, bila engkau
membeli sebuah barang
jangan dijual sebelum barang
tersebut engkau terima.” (HR. Ahmad dan dihasankan Imam Nawawi)
Baca Juga : Hukum Barang Hasil Riba, Apakah Harus Di Buang ?
Juga
diriwayatkan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, “Nabi SAW melarang seseorang
menjual bahan makanan yang telah dibelinya sebelum ia menerimanya. Seseorang bertanya
kepada Ibnu Abas, ‘kenapa dilarang ? Ibnu
Abbas menjawab, ‘karena dirham
ditukar dengan dirham sedangkan bahan
makanan ditangguhkan.” (HR. Bukhari)
Jika
seandainya sudah sesuai syariah dan
sudah disepakati harga dalam akad murabahah maka selanjutnya adalah memastikan
tidak ada denda dan sita di dalam akad,
jika ada maka akad tersebut jelas riba. Sebagaimana perkataan
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Betuk
riba jahiliyah, si A menjual barang
kepada si B Secara kredit sampai batas
tertentu. Ketika tiba jatuh
tempo, sementara si B tidak bisa
melunasi, harga barang dinaikkan dan waktu pelunasan ditunda.” (Fathul Bari,
313).
Demikian lah bahasan mengenai akad mudharabah dan murabahah di bank syariah. Tentu kita tidak bisa asal memvonis bank ini sesuai atau tidak dengan syariah. Tapi kita tetap harus memperlihatkan akad yang dilakukan di dalamnya. Riba atau tidak, halal atau haram, bisa kita lihat dari akadnya. Karena itu kita perlu terus belajar ilmu fiqh muammalah jika ingin transaksi yang kita jalani sesuai dengan syariah.
Dan akhir kata, yang paling
aman adalah kita tidak berhutang, jika kita ingin membeli sesuatu maka
belilah secara lunas/cahs. Dan jika ingin berbisnis maka mulailah dengan modal
yang kita punya, atau bahkan tanpa modal
sebagaimana yang telah dibahas di Hukum
Muammalah sebelumnya. Semoga bermanfaat , Barakallah Fikum Wassalamu’alaikum
wr,wb.
Posting Komentar untuk "Akad Mudharabah dan Murabahah di Bank Syariah - Hutang di Bank Syariah Tetap Riba ?"
Masukkanlah Komentarmu dengan Baik..!!!