Kisah Inspiratif, Masuk Islam Karena Iri Melihat Umat Muslim
Hidayahilahi.com - Nama saya I Made Sudarma, kelahiran Bali, 27 Juli 1971, tepatnya di kecamatan Sawan kabupaten Buleleng, Bali Utara, meskipun saya anak ke-6, tetapi saya mendapatkan julukan Made yang sebetulnya untuk nama ke-2. Itu dapat terjadi karena di Bali julukan untuk anak-anak, hanya sampai pada urutan ke-4. Untuk anak yang ke-5 dan seterusnya, julukanya kembali ke angka muda. Mungkin orang bali sejak zaman dahulu sudah mempunyai program KB yang membatasi jumlah anak hanya 4 orang. Entahlah, saya pun kurang begitu paham.
Kekurang pahaman saya terhadap adat istiadat Bali, termasuk juga terhadap ajaran Hindu Bali, bukan saya tidak mau mempelajarinya. Tetapi, itu lebih tepat karna kami selaku umat awam kurang mendapat bimbingan dan siraman rohani secara intensif. Meskipun keluarga kami rajin sembahyang di pura, tetapi pengetahuan dan wawasan kami tentang agama Hindu, amat kurang.
Perlu pembaca ketahui, agama Hindu di Bali lebih didominasi adat istiadat dan ajaran nenek moyang. Dengan kata lain pengaruh adat lebih kuat di bandingkan ajaran agama. Apalagi keluarga kami berkasta sudra (kasta rakyat awam), sehingga tidak mempunyai cukup kesempatan untuk mempelajari agama Hindu secara mendalam. Ayah dan Ibu kami Ketut Sukanada dan Cening Rukmini hanya petani biasa.
Selain soal tidak adanya siraman rohani yang intensif agama Hindu juga tidak memiliki aturan-aturan peribadatan yang baku dan tegas. Peraturannya sering berubah-ubah. Contohnya, pada waktu-waktu yang lalu tidak ada aturan untuk berkain dan berselendang batik kalau mau bersembahyang di pura. Sedangkan Islam, mempunyai aturan-aturan peribadatan yang jelas dan tegas, tidak berubah-ubah sepanjang jalan. Contohnya, dari zaman dahulu yang namanya sholat subuh tetap dua rakaat, yang namanya minuman keras itu haram.
Satu lagi, Islam memiliki arah Kiblat yang jelas. Semua Masjid di seluruh dunia menghadapkan kiblatnya ke satu arah, yakni Ka’bah di kota Mekah yang menjadi pusat berhimpunnya kaum muslimin sedunia pada saat ibadah Haji sedangkan, Pura tidak mempunyai arah kiblat yang jelas. Arahnya bergantung selera pendirinya.
MEMPUNYAI TEMAN MUSLIM
Dari 5 orang kakak saya, 2 di antaranya sudah memeluk agama Islam, yaitu I Made Adyana (anak ke-2), masuk Islam tahun 1978 di Jakarta. Beliau kini mengajar di sebuah akademi akuntansi di Jakarta. Sesudah itu menyusul I Ketut Anom (anak ke-5) yang masuk Islam tahun 1991 di Jakarta. Tetapi simpati saya kepada Islam bukan lantaran kedua kakak saya telah Islam terlebih dahulu. Sebab mereka menjadi muslim di Jakarta. Sedangkan saya masih di Bali.
Semua pengamatan saya terhadap Islam lebih banyak saya dapatkan melalui pergaulan. Di kampung saya aktifitas kaum muslimin cukup semarak, saya sering memperhatikan kegiatan mereka di Masjid, baik saat mereka shalat maupun menyelenggarakan pengajian. Dari situ timbul simpati saya. Kebetulan saya punya teman seorang muslim, namanya Bintoro Aji. Ia asli Yogyakarta. Dengan dialah saya sering bertukar pikiran tentang masalah-masalah keagaman. Tetapi sampai sejauh ini, ia tidak mau mempengaruhi keyakinan saya. Bahkan ketika saya mengutarakan keinginan untuk melaksanakan shalat, ia menganjurkan saya untuk mempelajari Islam lebih dalam lagi. “Jangan sampai timbul kesan kamu dipengaruhi pihak lain,” katanya ketika itu.
Maka, dalam rangka mencari kebenaran itu saya juga mempelajari agama Kristen. Kesimpulan saya, antara Hindu dan Kristen ada kemiripan. Terutama dalam masalah teologi (ketuhanan). Seperti diketahui, Kristen mempunyai doktrin teologi yang di sebut trinitas, yang meyakini wujud Tuhan terdiri atas tiga unsur : Tuhan Bapa, Tuhan Anak, dan Roh Kudus. Sementara, agama Hindu juga meyakini apa yang di sebut trimurti, yakni wujud Sang Hyang Widi terdiri atas tiga oknum : Dewa Brahma, Dewa Wishnu, Dewa Syiwa.
Dari hasil kajian saya terhadap Hindu, Kristen, dan Islam, saya menyimpulkan, hanya Islamlah yang memiliki doktrin teologi yang paling konsisten dan rasional. Doktrin Tauhid yang menjadi landasan keyakinan akidah kaum muslimin menentang keras segala bentuk amalan dan keyakinan yang mempersekutukan Tuhan. Satu tetaplah satu, tidak mungkin menjadi tiga atau sebaliknya.
Selain itu, Islam juga tidak mengenal kasta-kasta. Dihadapan Tuhan, semua manusia itu sama “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah hanyalah orang yang paling bertakwa” Begitu penggalan Ayat Al-Qur’an yang sempat saya baca. Sementara, masyarakat Hindu masih di belenggu system kasta yang amat kuat. Ketika niat untuk masuk Islam saya utarakan kepada orang tua saya, mereka tidak memberi tanggapan. Mereka hanya diam saja.
PINDAH KE JAKARTA
Setelah tamat SMA , saya pindah ke Jakarta, menumpang di rumah kakak tertua di daerah Depok (perbatasan Jakata-Bogor). Kakak saya dan istrinya itu penganut Hindu yang taat. Beruntung saya di terima bekerja di sebuah biro akuntan publik di Jakarta, sehingga tidak terlalu menjadi beban kakak.
Di Depok, hasrat saya untuk masuk Islam semakin kuat. Apalagi lingkungan tempat tingal kami itu mayoritas penduduknya beragam Islam. Bahkan, keponakan saya yang masih SD dan SMP sering ikut-ikutan merayakan Lebaran. Di sini pula saya berkenalan dengan Ustadz Suranto, seorang guru agama. Kepadanyalah saya sering berdiskusi. Bahkan, Kemudian saya belajar menulis dan membaca huruf Al-Qur’an dan praktik ibadah lainya.
Sejak saat itu saya mulai melaksanakan ibadah shalat lima waktu. Meskipun saya belum resmi menjadi seorang muslim, tetapi saya sudah merasakan bagaimana nikmatnya berwudhu dan shalat. Melalui shalat saya dapatkan ketenangan batin yang telah sekian lama nyaris hilang.
Setelah berkonsultasi kepada 2 orang kakak saya yang tiggal di Bekasi dan Pulogadung, mereka dapat memahami apa yang menjadi keinginan saya. Alhamdulillah, kakak tertua tempat saya menumpang pun dapat mengerti. Bahkan ia berpesan, “Kalau kamu masuk Islam, jadilah pemeluk islam yang baik”
Singkat cerita, pada hari Jum’at, 6 Oktober 1995, tepat pukul 21.00 WIB saya mengucapkan ikrar dua kalimat Syahadad dibimbing Ustadz Muhammad Amin, disaksikan bapak Asmat Syarif dan Muhammad Anom, kakak saya yang sekaligus tuan rumah upacara pengislaman saya. Meskipun sederhana, namun upacara persyahadatan itu di hadiri sekitar 50 orang warga RT 002/RW04 Kelurahan Pagangsaan Dua, Pulogadung, Jakarta Timur. Pada malam itu saya mendapat nama baru, yaitu Ahmad Sudarma.
Penulis :ALbaz
Posting Komentar untuk "Kisah Inspiratif, Masuk Islam Karena Iri Melihat Umat Muslim"
Masukkanlah Komentarmu dengan Baik..!!!